Pengertian Metode Penelitian
1.
Nasir (1988:51) : Metode
penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan
dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan.
2.
Sugiyono (2004:1) : Metode
penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu.
3.
Winarno (1994) : Metode
penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan dengan tujuan kegunaan
tertentu.
4.
Muhiddin Sirat (2006) : Metode
penelitian adalah suatu cara memilih masalah dan penentuan judul penelitian.
5. Metode
Penelitian : Tata
cara bagaimana suatu penelitian akan dilaksanakan. Metode penelitian ini sering
dikacaukan dengan prosedur penelitian atau teknik penelitian.
6.
Metode Penelitian :
Sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu
disiplin. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau
metode.
7.
Metode Penelitian : Rangkaian dari
cara / kegiatan pelaksanaan penelitian dan didasari oleh pandangan filosofis,
asumsi dasar, dan ideologis serta pertanyaan dan isu yang dihadapi. Suatu
penelitian mempunyai rancangan penelitian (research design) tertentu
8. Metode Penelitian : Sekumpulan peraturan, kegiatan, dan
prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu.
9. Metode Penelitian : Pengetahuan yang mengkaji ketentuan
mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian.
10. Metode Penelitian : Sebuah desain atau rancangan penelitian.
Dari
beberapa pengertian diatas maka dapat saya simpulkan bahwa
Metode Penelitian adalah cara untuk memecahkan masalah ataupun sebagai cara
pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah yang
sistematis dan logis.
Pengertian
Metode Penelitian Hukum
1. Soerjono
Soekanto :
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.
2.
Oetandyo Wignisoebroto : Penelitian hukum adalah seluruh upaya
untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau
jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai
suatu permasalahan. Untuk menjawab segala macam permasalahan hukum diperlukan hasil
penelitian yang cermat, berkererandalan, dan sahih untuk menjelaskan dan
menjawab permasalahan yang ada.
3. T. M. Radhie :
Penelitian dalam ilmu hukum adalah keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin
ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasi, menganalisis dan menginterpretasi
fakta serta hubungan di lapangan hukum dan di lapangan lain-lain yang relevan
bagi kehidupan hukum dan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dapat
dikembangkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan cara-cara ilmiah unutuk menanggapi
berbagai fakta dan hubungan tersebut.
4. P.
M. Marzuki (2011:35) : Penelitian
Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.
5. Metode Penelitian Hukum : Menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu
penelitian hukum itu harus dilaksanakan.
6. Metode Penelitian Hukum
: Suatu penelitian yang
mempunyai obyek hukum, baik hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang
sifatnya dogmatis maupun hukum yang berkaitan dengan perilaku dan kehidupan
masyarakat.
Dari
beberapa pengertian diatas maka dapat saya simpulkan bahwa menurut
saya, Metode Penelitian Hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan dasar pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
jalan menganalisanya. Untuk kemudian diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut dan mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Jenis-Jenis
Penelitian Hukum
Metodologi
penelitian hukum berdasarkan fokus kajiannya terbagi menjadi tiga bagian yakni:
1.
Metode Penelitian Normatif
Mengenai
istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman diantara para
ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum, yakni Soerjono Soekanto
& Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif
atau metode penelitian hukum kepustakaan. Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian
hukum doctrinal. Sunaryati
Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normative dan Ronny Hanitjo Soemitro (Almarhum), menyebutkan dengan istilah metode
penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doctrinal.
Metode
penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai penelitian hukum
doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktriner
dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga
penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada perpustakaan karena akan
membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan. Hal ini disebabkan pada penelitian normatif fokus pada studi kepustakaan
dengan menggunakan berbagai sumber data sekunder seperti pasal-pasal
perundangan, berbagai teori hukum, hasil karya ilmiah para sarjana.
Dalam
penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek
seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi,
penjelasan umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa
hukum. Sehingga dapat kita simpulkan pada penelitian hukum normatif
mempunyai cakupan yang luas.
Penelitian Hukum
Normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas serta
prinsip-prinsip syariah yang digunakan untuk mengatur perbankan syariah,
khususnya sistem pembiayaan murabahah. Metode berpikir yang digunakan
adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang
ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan
kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).
Dalam kaitannya
dengan penelitian normatif di sini akan digunakan beberapa pendekatan yaitu :
1.
Pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan
pembiayaan murabahah di perbankan syariah, seperti : Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, tentang Bank Indonesia, Fatwa Dewan Syariah
Nasional, Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/19/PBI/2007, tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah dan peraturan organik lain yang berhubungan dengan
objek penelitian.
2. Pendekatan
Konsep (conceptual approach)
Pendekatan
konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep
tentang : pembiayaan murabahah, akad (perjanjian). Dengan didapatkan
konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak
lagi terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu.
2.
Metode Penelitian Normatif-Empiris
Metode
penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan
antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur
empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan
hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dalam penelitian jenis ini
terdapat tiga kategori yakni:
a.
Non judicial Case Study, merupakan
pendekatan studi kasus hukum yang tanpa konflik sehingga tidak ada campur tangan
dengan pengadilan.
b.
Judicial Case Study, pendekatan
judicial case study ini merupakan pendekatan studi kasus hukum karena konflik
sehingga akan melibatkan campur tangan dengan pengadilan untuk memberikan
keputusan penyelesaian (yurisprudensi).
c.
Live Case Study, pendekatan
live case study merupakan pendekatan pada suatu peristiwa hukum yang prosesnya
masih berlangsung atau belum berakhir.
3. Metode Penelitian Empiris
Metode
penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi
untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum
di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam
hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat
dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian
hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan
hukum atau badan pemerintah.
Penelitian
Hukum Sosiologis atau empiris adalah metode penelitian yang dilakukan untuk
mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode
berpikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang
digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara
koresponden adalah fakta yang mutakhir. Cara kerja dari metode yuridis sosiologis dalam penelitian tesis ini, yaitu
dari hasil pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi
kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam
menjawab permasalahan pada penelitian tesis ini, kemudian dilakukan pengujian
secara induktif–verifikatif pada fakta mutakhir yang terdapat di dalam
masyarakat. Dengan demikian kebenaran dalam suatu penelitian telah dinyatakan
reliable tanpa harus melalui proses rasionalisasi.
Berikut ini merupakan
daftar perbandingan antara penelitian hukum normatif dan empiris.
TAHAP
PENELITIAN
|
PENELITIAN
HUKUM NORMATIF
|
PENELITIAN
HUKUM EMPIRIS
|
Metode pendekatan
|
Normatif/ juridis, hukum
diidentifikasikan sebagai norma peraturan atau undang-undang (UU)
|
Empiris/ sosiologis, hukum
diidentifikasikan sebagai perilaku yang mempola
|
Kerangka teori
|
Teori-teori intern tentang
hukum seperti undang-undang (UU), peraturan pemerintah.Pembuktian melalui
pasal.
|
Teori sosial mengenai hukum
atau teori hukum sosiologis.Pembuktian melalui masyarakat.
|
Data
|
Menggunaan data skunder
(data yang diperoleh dari studi kepustakaan)
|
Menggunakan data primer
(data yang diperoleh langsung dari kehidupan masyarakat dengan cara
wawancara, observasi, kuesioner, sample dan lain-lain)
|
Objek kajian
|
Hukum positif (aspek
internal)
|
Aspek internal dari hukum
positif
|
Optik yang digunakan
|
Preskriptif
|
Netral, objektif, deskriptif
|
Teknik pengumpulan data
|
Data skunder dikumpulkan
dengan cara studi kepustakaan.Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara
|
|
Dasar untuk menganalisis
|
Norma, yurisprudensi, dan
doktrin
|
Teori-teori sosiologi hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum atau teori-teori social
|
Logika berfikir
|
Deduktif
|
Induktif
|
Tujuan
|
Membuat keputusan/
menyelesaikan masalah
|
Deskriptif, ekplanatif
(memahami), prediktif
|
Bentuk analisis
|
Logis normatif (berdasarkan
logika dan peraturan UU), silogisme (menarik kesimpulan yang telah ada),
kualitatif
|
Kuantitatif (kesimpulan yang
dituangkan dalam bentuk angka)
|
Contoh
Tulisan/Artikel/Jurnal Metode Penelitian Hukum
A.
JUDUL : EKSISTENSI DAN PROSPEK PERATURAN
PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) DALAM SISTEM NORMA HUKUM NEGARA REPUBLIK
INDOENSIA
B. LATAR BELAKANG
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan
Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan
dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka
untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat,
Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR
suatu peraturan bertingkatan undang-undang. Perpu lahir dikala negara,
khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. mengalami
hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan
dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. Hukum Tata
Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa
dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan
darurat atau bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau
normal.
Wewenang
Presiden menetapkan Perpu adalah kewenangan yang luar biasa di bidang
perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut membentuk undang-undang, Peraturan
Pemerintah, dan Keputusan Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem
perundang-undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan
perundang-undangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama
tersendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai pengganti
undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam
“hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Pada saat lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, pengaturan mengenai perpu terdapat pada Pasal 7 ayat 1 dengan urutan yang
itu dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.
Konsep Perpu sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat sementara
tidak berlaku adagium untuk “menggantikan perpu tersebut atau untuk menghapus
perpu tersebut”, tetapi hanya adagium “dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi”. Perpu tidak dapat
dicabut dengan Perpu serupa karena Perpu yang mencabut harus memenuhi syarat
hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sedangkan perpu yang ada perlu dicabut
atau diubah bentuknya menjadi undang-undang karena tidak ada lagi hal ihkwal
kegentingan yang memaksa. Perpu yang dicabut harus juga diajukan ke DPR, yaitu
Perpu tentang pencabutan Perpu tersebut.
Undang- Undang Dasar Negara Republok Indonesia Tahun
1945 di dalam Pasal 22 menegaskan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa
Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah harus
dicabut.” Ketentuan dalam Pasal 22 tersebut mengisyaratkan apabila keadaannya
lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya
syarat-syarat yang ditentukan lebih dahulu oleh dan dalam suatu undang-undang,
serta bagaimana akibat-akibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam
suatu undang-undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu
keadaan bahaya dan darurat.[1]
Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan
dua ciri umum, yaitu: (1) Ada krisis (crisis), dan (2) Kemendesakan (emergency).
Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan
bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency),
apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan
menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness)
apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat
maupun terhadap jalannya pemerintahan.[2]
Menurut Jimly Asshiddiqie, syarat materiil untuk
penetapan Perppu itu ada tiga, yaitu:[3] Ada kebutuhan yang mendesak
untuk bertindak atau reasonable necessity; Waktu yang tersedia terbatas
(limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan Tidak tersedia
alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt)
alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga
penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.
Hal ikhwal keadaan yang memaksa itu tidak selalu
membahayakan. Segala sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu bersifat
“kegentingan yang memaksa,” tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa
tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam keadaan bahaya menurut Pasal
12, Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan, tetapi, penetapan
Perpu oleh Presiden tidak selalu harus berarti ada keadaan bahaya lebih dulu.
Artinya, dalam kondisi negara dalam keadaan normal pun, apabila memang memenuhi
syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu Perpu.[4]
Perkataan “kegentingan yang memaksa” dapat dikatakan berkaitan dengan
kendala ketersediaan waktu yang sangat terbatas untuk menetapkan suatu
undang-undang yang dibutuhkan mendesak sehingga sebagai jalan keluarnya
Presiden diberikan hak dan fasilitas konstitusional untuk menetapkan Perppu
untuksementara waktu. Hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini hanya
mengutamakan unsure kebutuhan hukum yang bersifat mendesak (proporsional legal
necessity), sementara waktu yang tersedia sangat terbatas (limited time) dan
tidak memungkinkan untuk ditetapkannya undang-undang yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hukum itu. Sementara itu, soal ancamannya terhadap
keselamatan jiwa, raga, kekayaan, ataupun lingkungan hidup tidak dipersoalkan.[5]
Pada
hakekatnya Perppu sama dan sederajat dengan Undang-Undang, hanya syarat
pembentukannya yang berbeda. Oleh karena itu, penegasan dalam Pasal 9
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa materi muatan Perppu sama dengan
materi muatan Undang-Undang. Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagai konsekuensi
telah bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD
1945, maka kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas. Oleh
karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu
kepada Undang-Undang dan UUD, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri seperti
Keputusan Presiden di masa lalu. Satu-satunya peraturan yang dikeluarkan
Presiden/Pemerintah yang dapat bersifat mandiri dalam arti tidak untuk
melaksanakan perintah Undang- Undang adalah berbentuk Perppu yang dapat berlaku
selama-lamanya 1 tahun. Untuk selanjutnya Perppu tersebut harus diajukan untuk
mendapatkan persetujuan DPR. Jika DPR menolak menyetujui Perppu tersebut, maka
menurut ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Presiden harus mencabutnya kembali
dengan tindakan pencabutan. Ketentuan pencabutan ini agar lebih tegas,
sebaiknya disempurnakan menjadi ’tidak berlaku lagi demi hukum. Pembatasan
jangka waktu dan persetujuan DPR mengandung berbagai makna kewenangan membuat
Perpu memberikan kekuasaan luar biasa kepada Presiden.
Menurut Bagir Manan, di sini tidak berlaku adagium
“dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi.”
Perppu tidak dicabut dengan Perppu (serupa) karena.[6] Perppu yang mencabut harus
memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sedangkan Perppu yang ada
perlu dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang karena tidak ada lagi
hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Perppu yang dibuat harus juga diajukan ke
DPR, yaitu Perppu tentang ppencabutan Perppu. Hal ini tidak praktis. Untuk
mengatasi kesulitan di atas, setiap Perppu hendaknya dicabut dengan
undang-undang. Jadi, apakah Perppu akan disetujui menjadi undang-undang atau
akan dicabut harus diajukan ke DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang dan
diberi bentuk undang-undang.[7] Dengan menggunakan
kewenangan itu, Presiden secara sepihak dapat mencabut undang-undang yang masih
berlaku atau mengatur sesuatu hal yang seharusnya ditetapkan dengan
undang-undang. Mengingat bahwa, dalam instansi pertama, tidak ada jabatan lain
yang berwenang menguji apakah betul terdapat gejala darurat atau tidak sehingga
pengeluaran Perppu itu tergantung sepenuhnya kepada penilaian subjektif
Presiden. Artinya apabila kita melihat upaya penyelamatan Mahkamah Konstitusi
dengan menerbitkan Perpu sepenuhnya penilaian subjektif presiden yang
menganggap hal tersebut merupakan hal yang dianggap ikhwal dan genting. Berdasarkan dari dari pemikiran yang telah diuraikan diatas,
Penulis kemudian tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai permasalahan
tersebut ke dalam sebuah penulisan tesis hukum yang berjudul : EKSISTENSI DAN
PROSPEK PERATURAN PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) DALAM SISTEM NORMA HUKUM
NEGARA REPUBLIK INDOENSIA.
C.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang
diangkat dalam penulisan tesis ini dirumuskan pada persoalan sebagai berikut :
1.
Bagaimana Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara
Republik Indonesia?
2.
Bagaimana Prosedur
Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)?
D.
TUJUAN
1. Tujuan Teoritik :
a)
Mengetahui dan mendapatkan
gambaran yang tentang Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, yang dijabarkan dalam sub
isu antara lain Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia.
b)
Mengetahui tentang Prosedur
Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu), yang dijabarkan dalam sub isu antara lain melui DPR RI atau
menguji melalui Mahkamah Konstitusi.
2.
Tujuan Praktik :
a)
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan bagi
para akademisi dan peneliti hukum juga bagi pengembangan hukum tata negara.
b)
Untuk menambah bahan masukan referensi di dalam pengembangan ilmu pengetahuan
hukum, Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia.
c)
Untuk dijadikan bahan masukan dan acuan bagi para praktisi dan pengusaha serta
masyarakat luas yang menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan masalah ini.
E.
METODE
1.
Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu jenis
penelitian hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan menganalisis
suatu permasalahan hukum melalui peraturan perundang-undangan, literatur-literatur
dan bahan-bahan referensi lainnya yang berhubungan dengan Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia.
2.
Pendekatan
Penulis
akan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute aproach) dalam
penulisan tesis ini karena ini
adalah suatu penulisan yang
didasari pada kekaburan norma disamping menginventarisasi norma oleh sebab
itu penulis memilih menggunakan pendekatan perundang-undangan selain itu
penulis juga menggunakan pendekatan
Konseptual (conceptual approach) untuk
memperoleh kejelasan dan
pembenaran ilmiah mengenai
Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik
Indonesia.
3.
Langkah
Penulisan
a. Pemilihan tema atau isu hukum, isu
hukum dalam penulisan tesis ini adalah
mengenai Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara
Republik Indonesia. Penulis memilih isu hukum tersebut karena
permasalahan Prosedur
Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu), yang dijabarkan dalam sub isu antara lain melalui DPR RI atau
menguji melalui Mahkamah Konstitusi.
b. Penulis mengkonsultasikan dengan
dosen pembimbing berkenaan dengan judul dan isu hukum.
c. Melakukan studi kepustakaan
menggunakan metode sistematis.
4. Jenis
Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
ada 2 (dua) yaitu :
a.
Bahan hukum primer yang terdiri dari :
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
Undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Literatur-literatur, jurnal
hukum, hasil penelitian dan artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan ini.
c. Bahan Hukum Tersier yang
terdiri dari :
- Kamus Hukum
- Kamus Bahasa Indonesia
5. Pengolahan dan
Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini peneliti
mengolah dan menganalisis bahan hukum dengan langkah berpikir sistematis,
dimana bahan hukum primer dianalisis dengan langkah-langkah normatif dan
dilanjutkan dengan pembahasan secara deskriftif analitik, terhadap bahan hukum
sekunder dilakukan dengan penelaahan dengan mengacu terhadap pokok bahasan
permasalahan. Bahan hukum tersier dilakukan penelaahan dengan mengacu kepada
petunjuk yang mampu menjelaskan tentang istilah-istilah.
Bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dibahas dengan metode
analisis isi (content analysis) yaitu menelaah peraturan
perundang-undangan dimaksud.
F.
PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA
Dalam penulisan tesis ini,
penulis membagi penelitian kedalam 4 (empat) bab, yang mana
setiap bab terdiri dari sub-sub bab
guna memberi penjelasan yang
sistematis dan efektif.
Pada Bab I penulis memulainya dengan
PENDAHULUAN, di dalam pendahuluan
terdapat latar belakang
masalah mengapa penulis
mengangkat judul tesis ini, rumusan masalah guna membatasi permasalahan
agar tidak melebar, tujuan penulisan yang ingin di capai, metode yang penulis
gunakan dalam meneliti di dalamnya terdapat penjelasan menganai tipe
penelitian, pendekatan, langkah penulisan, dan
bahan hukum. Kemudian di sambung dengan pertanggungjawaban sistematika.
Pada Bab II penulis melakukan PEMBAHASAN
I atau pembahasan untuk
permasalahan atau rumusan masalah yang
pertama yaitu Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia.
Untuk Bab III penulis melakukan
PEMBAHASAN II atau
pembahasan untuk permasalahan
atau rumusan masalah
yang ke dua yaitu Prosedur
Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu).
Pada Bab IV adalah PENUTUP yang di
dalamnya terdapat kesimpulan dari penelitian tesis dan
untuk menyempurnakannya penulis memberikan saran.
G.
RANCANGAN SUSUNAN BAB
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Perumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
Metode Penelitian
E.
Pertanggung Jawaban Sistematika
F.
Rancangan Susunan BAB
G.
Bahan-bahan awal
BAB II. EKSISTENSI DAN PROSPEK PERATURAN PENGGANTI UNDANG-UNDANG
(PERPU) DALAM SISTEM NORMA HUKUM NEGARA REPUBLIK INDOENSIA
A.
Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
B.
Teori Perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia
BAB III PROSEDUR PENOLAKAN DAN BENTUK HUKUM YANG DIPERGUNAKAN UNTUK
PENCABUTAN PERATURAN PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)
A. Prosedur Penolakan dan Pencabutan Perpu
B. Political Review Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) upaya pembatalan
Perpu.
BAB
IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ni’matul Huda, Politik
Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2003,
hlm. 140.
Bagir Manan, Lembaga
Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta,
1999, hlm. 158-159.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm. 282.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU :
Arikunto,
Suharsimi. 2006. Metodelogi penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara.
Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum Di Indonesia
Pada Akhir Abad Ke-20. Bandung : Alumni. 1994.
M.
Iqbal Hasan, 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Penerbit Ghalia Indonesia : Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima, Jakarta : Ghalia Indonesia. 1994.
INTERNET :
http://perpustakaanfaiuniat.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-penelitian-hukum.html
http://eprints.walisongo.ac.id/1648/4/063511009_Bab3.pdf
http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html
http://widisudharta.weebly.com/metode-penelitian-skripsi.html
http://www.pazrilawyer.com/2013/12/contoh-format-metode-penelitian-hukum.html
diunduh pada tanggal
23/02/2016
[1]
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan
Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 140.
[2]
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan,
Pusat studi Hukum FH UII kerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm.
158-159.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara
Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm. 282.
[4]
Ibid., hlm. 207
[5]
Ibid., hlm. 309.
[6]
Bagir Manan, Lembaga…, op.Cit., hlm. 162-163
[7]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar