Bahan ajar Hukum Pengangkutan oleh MELKIANUS E. N. BENU,SH.,M.HUM
BAB I
PENDAHULUAN
Ruang Lingkup Pengangkutan Pada Umumnya
Dalam kegiatan
sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata ”transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek
yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan
perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai
kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut.
Secara etimologis,
transportasi berasal dari bahasa latin, yaitu transportare, trans berarti
seberang atau sebelah lain; dan portare berarti
mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau
membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal
ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong
orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain lainnya. Sehingga
transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau
membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Abdulkadir Muhammad
menguraikan istilah ”pengangkutan” dengan mengatakan bahwa pengangkutan
meliputi tiga dimensi pokok yaitu : ”pengangkutan sebagai usaha (business); pengangkutan sebagai
perjanjian (agreement); dan
pengangkutan sebagai proses (process)”.
Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan
(tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian
pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut carter (charterparty). Jadi perjanjian
pengangkutan pada umumnya diadakan secara lisan, yang didukung oleh dokumen
yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Menurut Hasim Purba di
dalam bukunya ”Hukum Pengangkutan Di Laut”, pengangkutan adalah ”kegiatan
pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui
angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan alat
angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud
memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu
tempat tujuan tertentu”.
Pengangkutan sebagai
usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Berdasarkan
suatu perjanjian;
2) Kegiatan
ekonomi di bidang jasa;
3) Berbentuk
perusahaan;
4) Menggunakan
alat angkut mekanik.
Pengangkutan sebagai
perjanjian, pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung
oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang
disebut perjanjian carter, seperti carter pesawat udara untuk pengangkutan
jemaah haji, carter kapal untuk pengangkutan barang dagang Perjanjian
pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter, seperti
carter pesawat udara untuk pengangkutan jemaah haji, carter kapal untuk
pengangkutan barang dagangan.
Rangkaian kegiatan
pemindahan tersebut meliputi :
a) Dalam arti
luas, terdiri dari:
1
memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat
pengangkut
2
membawa penumpang dan/atau barang ke tempat
tujuan
3
menurunkan penumpang atau membongkar
barang-barang di tempat tujuan.
b) Dalam arti
sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari
stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan.
Pengangkutan adalah
perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang
dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan33..
Menurut Ridwan
Khairindy, pengangkutan merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:
1. adanya sesuatu yang diangkut;
2. tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
3. ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Secara yuridis
defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu
menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian
timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik
barang atau pengirim,dengan memungut biaya pengangkutan.
Klasifikasi Transportasi atau Angkutan
Transportasi atau
pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang
dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi
itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara
rinci klasifakasi transportasi sebagai berikut :
1) Dari segi
barang yang diangkut, transportasi meliputi:
a) angkutan
penumpang (passanger);
b) angkutan barang (goods);
c) angkutan
pos (mail).
2) Dari sudut
geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
a) Angkutan
antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b) Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke
Swiss dan diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
c) Angkutan
antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d) Angkutan
antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e) Angkutan
antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f) Angkutan
di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3) Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika
dilihat dari sudut teknis dan alatangkutnya, maka transportasi dapat dibedakan
sebagai berikut:
a) Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation),seperti pengangkutan
dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b) Pengangkutan rel (rail
transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya.
Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanyadigabung
dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau
landtransportation (angkutan darat);
c) Pengangkutan
melalui air di pedalaman (inland transportation), seperti
pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
d) Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi
untuk mengangkutatau mengalirkan minyak tanah, bensin dan air minum;
e) Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu angkutan dengan menggunakan kapal laut
yang mengarungi samudera;
f) Pengangkutan
udara (transportation by air atau air
transportation), yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang
melalui jalan udara.
Fungsi dan Kegunaan Pengangkutan atau transportasi
Dalam ilmu ekonomi
dikenal beberapa bentuk nilai dan kegunaan suatu benda, yaitunilai atau
kegunaan benda berdasarkan tempat (place
utility)dan nilai atau kegunaan karena waktu (time utility). Kedua nilai tersebut secara ekonomis akan diperoleh
jika barang-barangatau benda tersebut diangkut ketempat dimana nilainya lebih
tinggi dan dapatdimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan
memberikan jasa kepada masyarakat yang disebut” jasa pengangkutan”.
Menurut Sri Redjeki
Hartono pengangkutan
dilakukan karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada di
tempat asalnya, karena itu dikatakan pengangkutanmemberi nilai kepada barang
yang diangkut dan nilai ini lebih besar daripada biaya-biaya yang dikeluarkan.
Nilai yang diberikan adalah berupa nilai tempat (place utility)dan nilaiwaktu (time
utility).Nilai tempat (place utility)mengandung
pengertian bahwa dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang
dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang berguna atau bermanfaat
di tempat asal, akan tetapi setelah adanyapengangkutan nilai barang tersebut
bertambah, bermanfaat dan memiliki nilai guna bagi manusia, oleh karena itu
apabila dilihat dari kegunaan dan manfaatnya bagi manusia, makabarang tadi
sudah berambah nilainya karena ada pengangkutan. Nilai Kegunaan Waktu (time utility), dengan adanya
pengangkutan berarti bahwa dapat dimungkinkan terjadinyasuatu perpindahan
barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dimana barang tersebut lebih
diperlukan tepat pada waktunya.
Selanjutnya dinyatakan
bahwa peran penting dari transportasi dikaitkan dengan aspekekonomi dan
sosial-ekonomi bagi masyarakat dan negara, yaitu sebagi berikut:
1. Berperan
dalam hal ketersediaan barang (availability
of goods);
2. Stabilisasi
dan penyamaan harga (stabilization and equalization);
3. Penurunan
harga ( price reduction);
4. Meningkatkan
nilai tanah (land value);
5. Terjadinya
spesialisasi antar wilayah(territorial
division of labour);
6. Berkembangnya
usaha skala besar(large scale production);
7. Terjadinya urbanisasi dan konsentrasi
penduduk(urbanization and population concentration)
dalam kehidupan.
Menurut Abdulkadir
Muhammad, pengangkutan memiliki nilai yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal tersebut
didasari oleh berbagai faktor, yaitu antara lain:
a) Keadaan
geografis Indonesia yang berupa daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
besar dan kecil, dan berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan
sungai serta danau memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan,
dan udaraguna menjangkau seluruh wilayah negara;
b) Menunjang
pembangunan di berbagai sektor
c) Mendekatkan
jarak antara desa dan kota
d) Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Asas-Asas Hukum Pengangkutan
Di dalam hukum pengangkutan
juga terdapat asas-asas hukum, yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat
publik dan bersifat perdata, asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum
pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihakdalam
pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak
pemerintah.
Asas-asas yang
bersifat publik biasanya terdapat di dalam penjelasan undang-undang yang
mengatur tentang pengangkutan, sedangkan asas-asas yang bersifat perdata
merupakan landasan hukum pengangkutan
yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim
barang.
·
Asas-asas
Hukum Pengangkutan Bersifat Publik
Ada beberapa asas
hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut:
a. Asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnyabagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan
rakyat dan pengembanganperikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara,
serta upaya peningkatanpertahanan dan keamanan negara;
b. Asas usaha
bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang
penerbangan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang
dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai
olehsemangat kekeluargaan;
c. Asas adil dan
merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya
yang terjangkau oleh masyarakat;
d. Asas keseimbangan
yaitu, bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga
terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana,
antarakepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan
masyarakat,serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e. Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan
penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f. Asas
keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat
danutuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar
modal transportasi;
g. Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada
pemerintah untuk menegakkandan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada
setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam
penyelenggaraan penerbangan;
h. Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa
penerbangan harus berlandaskan padakepercayaan akan kemampuan dan kekuatan
sendiri, serta bersendikan kepadakepribadian bangsa.
i. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap
penyelenggaraan pengangkutanpenumpang harus disertai dengan asuransi
kecelakaan.
·
Asas
Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata
Dalam kegiatan
pengangkutan terdapat hubungan hukum antara pihak pengangkut dan penumpang,
hubungan hukum tersebut harus di dasarkan pada asas-asas hukum . Asas-asashukum
pengangkutan bersifat perdata terdiri dari :
a. Asas
konsensual yaitu, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam
bentuktertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk
menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudaha ada harus dibuktikan
dengan atau didukungdengan dokumen pengangkutan;
b. Asas
Koordinatif yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang
setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain.
Meskipunpengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang atau
pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pengirim barang.
Pengangkut merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.
c. Asas campuran yaitu, pengangkutan merupakan campuran
dari 3 (tiga) jenis perjanjianyakni, pemberian kuasa, peyimpanan barang dan
melakukan pekerjaan dari pengirimkepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis
perjanjian ini berlaku pada pengangkutan,kecuali jika ditentukan lain dalam
perjanjian pengangkutan.
d. Asas
pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen
pengangkutan berarti tidak ada perjanjianpengangkutan, kecuali jika kebiasaan
yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutanuntuk jarak dekat biasanya tidak
ada dokumen atau tiket penumpang, contohnya
angkutan dalam kota.
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Dalam hukum pengangkut
terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip
tanggungjawab atas dasar kesalahan (the
based on fault atau liability based onfault principle);
2. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liabilityprinciple);
3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute liabilityprinciple).
Sumber Hukum Pengangkutan
Secara umum sumber
hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atau tempat mengenali
hukum. Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material(amaterial sources of law) dan
sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law).
Sumber hukum materil
adalah sumber dari mana diperoleh bahan hukum dan bukan kekuatan berlakunya,
dalam hal ini keputusan resmi dari hakim/pengadilan yang memberikan kekuatan berlakunya, sedangkan sumber
hukum formal adalah sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber
hukum formal adalah kehendak negara
sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau putusan-putusan pengadilan. Sumber hukum yang telah
dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, berdasarkan
apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum.
Itulah sumber-sumber hukum dalam arti
formal, atau dapat juga disebut sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa
efficiens.
Selain hukum positif
nasional yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa
ketentuan-ketentuan internasional. Di dalam tata urutan sumber hukum
konvensi-konvensi internasional dan perjanjian multilateral/bilateral
diletakkan di atas peraturan perundang-undangan nasional. Karena hukum udara
termasuk di dalamnya hokum pengangkutan udara yang lebih bersifat
internasional, hukum udara dan hukum pengakutan udara nasional di setiap negara
pada umumnya mendasarkan diri bahkan ada yang turunan semata dari
konvensi-konvensi internasionaldalam bidang angkutan udara tersebut.
Beberapa sumber hukum
angkutan udara yang bersifat ineternasional,(Konvensi-konvensi internasional
dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:
a) Konvensi
Warsawa (Warsaw Convention) 1929.
Konversi Warsawa ini
ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia
mulai tanggal 29 September 1933.
Konvensi ini antara
lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara
(chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab
pengangkut udara.
b) Konvensi
Geneva.
Konvensi Geneva ini
mengatur tentang “International
Recognition of Right inAircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak
turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali
adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam
hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapatdiakui secara
internasional oleh negara-negara pesertanya.
c) Konvensi
Roma 1952
Konvensi
ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari
konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur
masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di
darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operatorpesawat terbang
asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak
begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya.
d) Protokol
Hague 1955
Protocol Hague 1955
yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen
terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk
penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan
udara.
e) Konvensi
Guadalajara 1961
Konvensi Guadalajara
ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan mulai berlaku sejak tanggal 2
Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara pesertanya. Pada pokoknya Konvensi
Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawaterhadap angkutan udara
yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut yang mengadakan
perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian system tanggungjawab
yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa.
f) Protokol
Guatemala
Protokol Guatemala
yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan
penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague,
terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan
bagasi.
Dalam Protocol Guatemala
ini ditentukan :
a. Tanggung
jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi digunakan sistem tanggung jawab
yang prinsip “absolute liability dengan prinsip limitation of liability” dan
untuklimit ganti ruginya ditetapkan sebesar 1.500.000,- Gold Franc.
b. Tanggung
jawab terhadap muatan digunakan kombinasi prinsip Presumption of Liabilitydengan Limitation of Liability.
c. Tanggung
jawab untuk kerugian yang disebabkan kelambatan terhadap penumpang, bagasi dan
barang digunakan kombinasi prinsip “presumption
on non liability denganlimitation of liability”.
Dalam Protocol
Guatemala ini, Indonesia ikut serta mengirimkan delegasinya tetapi tidak ikut
menandatanganinya, karena delegasi Indonesia beranggapan bahwa limit tanggung
jawab yang ditentukan oleh Protokol Hague ini terlalu tinggi.
BAB II
PENGANGKUTAN DALAM PERANAANNYA DI BIDANG
EKONOMI
Pihak-Pihak Yang
Terkait Dalam Pengangkutan
Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan adalah
para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum
pengangkutan. Mengenai siapa saja yang menjadi pihak-pihak dalam pengangkutan
ada beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli antara lain ; Wihoho Soedjono
menjelaskan bahwa di dalam pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan
di laut terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan adanya
tiga unsur yaitu pihak pengirim barang, pihak penerima barang dan barangnya itu
sendiri.
a. Pengangkut (Carrier)
Dalam perjanjian pengangkutan barang, pihak pengangkut
yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan
berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah
diperjanjikan. Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yakni
pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak
atas penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah
ditetapkan.
b. Pengirim ( Consigner, Shipper)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia tidak mengatur
definisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian
pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar
pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan
barang dari pengangkut. Dalam bahasa Inggris, pengirim disebut consigner, khusus pada pengangkutan
perairan pengangkut disebut shipper.
c. Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan pelayanan
jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan
sesuai yang ditetapkan.
d. Penerima (Consignee)
Pihak penerima barang yakni sama dengan pihak pengirim
dalam hal pihak pengirim dan penerima adalah merupakan subjek yang berbeda.
Namun adakalanya pihak pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima
barang yang diangkut di tempat tujuan. Dalam perjanjian pengangkutan, penerima
mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam
hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Dalam penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima
bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum
pengangkutan. Adapun kriteria penerima menrut perjanjian, yaitu :
1. perusahaan
atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim barang;
2. dibuktikan
dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
3. membayar
atau tanpa membayar biaya pengangkutan.
e. Ekspeditur
Ekspeditur dijumpai dalam perjanjian pengangkutan barang,
dalam bahasa Inggris disebut cargo
forwarder. Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau pengangkut atau
penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai perantara
dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha
transport seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan pengangkutan barang-barang
namun dalam hal ini ia sendirilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut ketentuan
undang-undang, yaitu:
1. perusahaan
pengantara pencari pengangkut barang;
2. bertindak
untuk dan atas nama pengirim; dan
3. menerima
provisi dari pengirim.
f. Agen Perjalanan ( Travel Agent)
Agen perjalanan (travel
agent) dikenal dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Agen perjalanan
digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusahaan pengangkutan penumpang. Agen
perjalanan berfungsi sebagai agen (wakil) dalam perjanjian keagenan (agency agreement) yang bertindak untuk
dan atas nama pengangkut. Agen perjalanan adalah perusahaan yang kegiatan
usahanya mencarikan penumpang bagi perusahaan pengangkutan kereta api,
kendaraan umum, kapal, atau pesawat udara.Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditentukan kriteria agen perjalanan menurut undang-undang, yaitu :
1. pihak
dalam perjanjian keagenan perjalanan;
2. bertindak
untuk dan atas nama pengangkut;
3. menerima
provisi (imbalan jasa) dari pengangkut; dan
4. menjamin
penumpang tiba di tempat tujuan dengan selamat.
g. Pengusaha Muat
Bongkar (Stevedoring)
Menurut Pasal 1
butir 16 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 pengusaha muat bongkar adalah
”kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat barang dan/atau hewan
dari dan ke kapal”. Perusahaan ini memiliki tenaga ahli yang pandai menempatkan
barang di dalam ruang kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang,
ventilasi yang diperlukan, dan tidak mudah bergerak/bergeser. Demikian juga
ketika membongkar barang dari kapal diperlukan keahlian sehingga barang yang
dapat dibongkar dengan mudah, efisien, dan tidak menimbulkan kerusakan.
Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999
untuk memperoleh izin usaha bongkar muat, wajib memenuhi persyaratan :
1. memiliki
modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
2. memiliki
tenaga ahli yang sesuai;
3. memiliki
akte pendirian perusahaan;
4. memiliki
surat keterangan domisili perusahaan; dan
5. memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
h. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 1969, pengusaha pergudangan adalah ”perusahaan yang bergerak di bidang
jenis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang
bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau penunggu pemuatan ke dalam
kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang berada di bawah
pengawasan Dinas Bea dan Cukai”.
Objek Hukum
Pengangkutan
Yang diartikan dengan ”objek” adalah segala sasaran yang
digunakan untuk mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada pokoknya meliputi barang
muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan. Jadi objek hukum pegangkutan
adalah barang muatan, alat pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai
tujuan hukum pengangkutan niaga.
a. Barang Muatan (Cargo)
Secara fisik barang muatan dibedakan menjadi 6 golongan,
yaitu :
1) barang
berbahaya (bahan-bahan peledak);
2) barang
tidak berbahaya;
3) barang
cair (minuman);
4) barang
berharga;
5) barang
curah (beras, semen,minyak mentah); dan
6) barang
khusus.
Secara alami barang muatan dapat dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu :75
1) barang
padat
2) barang
cair
3) barang
gas
4) barang
rongga (barang-barang elektronik)
Dari jenisnya, barang muatan dapat dibedakan menjadi 3
golongan, yaitu :
1) general cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara membungkus
dan mengepaknya dalam bentuk unit-unit kecil.
2) bulk cargo,
adalah jenis barang yang dimuat dengan cara mencurahkannya ke dalam kapal atau
tanki.
3) homogeneous cargo, adalah barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara
membungkus dan mengepaknya.
b. Alat pengangkut ( Carrier)
Pengangkut adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan
pengangkutan, memiliki alat pengangkut sendiri, atau menggunakan alat
pengangkut milik orang lain dengan perjanjian sewa.
c. Biaya pengangkutan (Charge/Expense)
Pemerintah menerapkan tarif yang berorientasi kepada
kepentingan dan kemampuan masyarakat luas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cost of servicesatau ongkos menghasilkan jasa yaitu:
1. jarak yang harus ditempuh dari tempat asal ke tempat
tujuannya;
2. volume dan berat daripada muatan barang yang diangkut;
3. resiko dan bahaya dalam pengangkutan, berhubung karena
sifat barang yang diangkut, sehingga diperlukan alat-alat serviceyang spesial; dan
4. ongkos-onkos khusus yang harus dikeluarkan berhubung
karena berat dan ukuran barang yang diangkut yang ”luar biasa” sifatnya.
Biaya pengangkutan dan biaya yang bersangkutan oleh
Undang-undang, yaitu dalam Pasal 1139 sub 7 bsd. Pasal 1147 KUH Perdata
dimasukkan dalam hak istimewa (privilege)
atas barang-barang tertentu, yaitu atas pendapatan dari barang-barang yang
diangkut. Hak istimewa bersifat perikatan (obligator)
terbawa karena sifatnya hutang. Hak istimewa menurut Pasal 1134 ayat 1 KUH
Perdata adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Pengangkutan dan
Peranannya dalam Perekonomian
Pemerintah pada umumnya memandang bahwa bidang transportasi
adalah sangat vital untuk kepentingan negara baik dari sudut perekonomian
maupun dari sudut-sudut sosial, politik, pemerintahan, pertahanan-keamanan dan
sebagainya. Karena itu pemerintah berpendapat bahwa bidang transportasi ini
perlu mendapat perhatian dan bantuan, bahkan sering kali pula berpandangan
bahwa bagian-bagian yang terpenting di bidang transportasi ini perlu diusahakan
oleh pemerintah. Pada waktu yang telah diselenggarakan oleh pemerintah kita
melalui badan usaha mlik negara adalah pengangkutan kereta api, pengangkutan
udara, pelayaran antar pulau di samping bidang-bidang komunikasi lainnya. Ada
banyak pula usaha di bidang transportasi ini yang dimiliki, diselenggarakan,
dan diusahakan oleh pihak swasta. Seperti diketahui, tujuan ekonomi adalah
memenuhi kebutuhan manusia dengan menciptakan manfaat. Pengangkutan adalah satu
jenis kegiatan yang menyangkut peningkatan kebutuhan manusia dengan mengubah
letak geografi orang maupun barang.
Ada tiga faktor ekonomis alasan kenapa pemerintah memiliki
dan mengusahakan sendiri upaya transpor ini, yaitu :
1. kurangnya
kapital yang dimiliki oleh pihak swasta, sehingga tidak mampu bergerak dibidang
usaha pengangkutan tertentu.
2. adanya
pemilihan usaha pada rute-rute tertentu oleh pihak swasta yang secara ekonomis
menguntungkan sehingga akan menuju kepada kapasitas yang berlebihan di daerah
tertentu.
3. karena
kepemilikan secara swasta menyebabkan terpecah dan tersebarnya penyediaan jasa
angkutan secara tidak terkoordinir sehingga tidak terdapat efisiensi dan
keterpaduan dalam pelayanannya bagi masyarakat.
Hubungan antara pembangunan ekonomi dengan jasa
pengangkutan adalah sangat erat sekali dan saling tergantung satu sama lainnya.
Oleh karena itu untuk membangun perekonomian sendiri perlu didukung dengan
perbaikan dalam bidang transpor atau pengangkutan ini. Perbaikan dalam
transportasi ini pada umumnya berarti akan dapat menghasilkan terciptanya
penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapatnya pengangkutan
barang-barang dengan kecepatan lebih besar dan perbaikan dalam kualitas atau
sifat daripada jasa-jasa pengangkutan tersebut sendiri.
Aspek-aspek yang terkait dengan
pengangkutan
1. Pelaku, Yaitu orang yang melakukan
pengangkutan. Dapat berupa Badan Usaha/spt perusahaan pengangkutan/ dapat,
berupa manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan di pelabuhan.
2. Alat Pengangkutan, Alat yang
digunakan untuk pengangkutan/Alat ini digerakkan secara mekanik dan memenuhi
syarat undang-undang/seperti kendaraan bermotor, kapal laut/dan darat.
3. Barang/Penumpang, Yaitu muatan
yang diangkut. Barang perdagangan yang sah menurut undang-undang. Dlam
pengertian barang termasuk juga hewan.
4. Perbuatan, Yaitu kegiatan
mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di
tempat tujuan yang ditentukan.
5. Fungsipengangkutan, Meningkatkan
kegunaan, dan nilai barang atau penumpang
6. Tujuan pengangkutan, Yaitu sampai
ditempat tujuan yang ditentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.
Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian itu menimbulkan perikatan diantara
dua orang yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena
kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Asas-asas Perjanjian Pengangkutan
1. Asas konsensual
Asas
ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah
cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak
2. Asas koodinasi
Asas
ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun
perjanjian pengangkutan merupakan "pelayanan jasa", asas subordinasi
antara buruh dan majikan pada
perjanjian perburuhan tidak berlaku pada peranjian pengangkutan.
3. Asas Campuran
Perjanjian
Pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian yaitu pemberian
kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim kepada
pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan. Dengan demikian, ketentuan
dari 3 jenis perjanjian itu berlaku jika dalam perjanjian Pengangkutan, kecuali
jika perjanjian pengangkutan mengatur lain.
4. Asas tidak ada hak retensi
Penggunaan
hak retensi dalam peijanjian pengangkutan tidak dibenarkan. Penggunaan hak retensi itu bertentangan
dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.
Mengenai
cara terjadinya perjanjian Pengangkutan
ini menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang
dilakukan oleh pengangkut dan pengirim
atau penumpang secara tiinbal balik. Serangkaian perbutan semacam ini tidak ada
pengaturannya dalam undang-undang
melainkan ada dalam kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan.
Cara terjadinya perjanjian pengangkutan ada
dua:
1. Penawaran dari pihak pengangkut.
Cara
tejadinya perjanjian Pengangkutan dapat secara langsung dari pihak-pihak, atau
tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara (ekspedisi, biro perjalanan).
2. Penawam dari pihak pengirim,
penumpang
Apabila
pembuatan perjanjian Pengangkutan
dilakukan secra lansung,
maka penawaran pihak pengirim atau penumpang diiakukan dengan menghubungi
langsung pihak pengangkut.Ini berarti pengirim atau penumpang mencari sendiri
pengangkut untuknya. Hal ini terjadi setelah pengirim atau penumpang mendengar atau membaca pengumuman dari
pengangkut.
Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan
Untuk
mengetahui berakhirnya pemajian pengangkutan perlu dibedakan dua keadaan yaitu:
1. Dalam keadaan tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan pembayaran biaya
pengangkuan ditempat tujuan yang disepakati.
2. Dalam keadaan terjadi peristiwa
yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah
pemberesan kewajiban membayar ganti kerugian.
Tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan
1. Tanggung Jawab Pengangkut
Saefullah
Wirapradja beirpendapat bahwa,
setidak-tidaknya ada 3 prinsip tanggung jawab
pengangkut dalam perjanjian
pengangkutan :
a. Prinsip Tanggung jawab
berdasarkan kesalahan (fault liability)
Menurut
prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan
pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas kerugian yang
timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus
membuktikan kesalahan pengangkut itu. (Lihat Pasal 1365 BW)
b. Prinsip tanggung
jawab berdasarkan praduga (presumtion liability)
Pengangkut
(diangga selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat rnembuktikan bahwa ia tidak
bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Yang
dimaiksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah
mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau atau peristiwa
yang menimbulkan kerugian itu beban pembuktian ada pada pengangkut, bukan pada
pihak yang dirugikan.
c. Prinsip Tanggung jawab mutlak (Absolute
Itabilily)
Pengangkut
harus bertanggung jawab nnembayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari
pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya
kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari
tanggung jawab dengan
alasan apapun yang menimbulkan
kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan
2. Tanggung jawab pengirim
Biasanya ongkos pengangkutan dibayar oleh
sipengirim barang, tetapi ada kalanya juga dibayar oleh orang yang dialamatkan.
Bagaimanapun juga, sipengangkut selalu berhak menuntut pembayaran ongkos
pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu kepada sipengirim atau sipenerima
barang.
BAB III
PENGANGKUTAN LAUT DAN PERAIRAN LAUT SERTA PERANTARA PENGANGKUTAN
Ekspeditur
Yaitu orang
yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan dagangan dan
barang-barang lainnya rnelalui daratan atau pengairan. Diatur dalam KUHD Buku
I, Bab V, Bagian Pasal 85 – 90. Perjanjian Ekspedisi : perjanjian Yang dibuat
antara ekspeditur dengan pengirim. Perjanjian Pengangkutan : perjanjian Antara
ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut. Jadi ekspeditur menurut
Undang-undang (Psl 86 ayat (1) KUHD), hanya seorang perantara yang bersedia
mencarikan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang
yang telah diserahkan kepadanya.
Pengusaha Transport
Orang yang
bersedia menyelenggarakan seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan
yang ditetapkan sekaligus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk
melakukan pengangkutan itu sendiri. Jadi apabila dibedakan dengan Pengangkut
(Psl 466 KUEHD), orang yang mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan Ekspeditur (Psl 86
KUHD), orang yang bersedia mencarikan pengangkut bagi pengirim.
Makelar Kapal
Yaitu
perantara di bidang jual beli kapal atau carter mencarter kapal. Untuk fungsi
yang terakhir ini makelar kapal bertindak atas nama pengusaha kapal, Makelar
kapal mengusahakan seIanjutnya agar kapal dimuati, dibongkar dan diserahkan
kembali kepada pengusaha kapal. Menurut Purwosutjipto, makelar tidak berwenang
mengurus ganti kerugian, sebab dia bukan pihak dalam perjanjian carter kapal,
paling banter dia dapat menjadi saksi.
Agen Duane
Yaitu perantara
perkapalan/ yang dulu tugasnya mengusahakan sebuah kapal masuk dalam
rombongan kapal/konvoi tertentu.
Sekarang tugasnya adalah mengusahakan dokumen kapal,
menyelesaikan dan membayar bea - cukai dan lain-lain pekerjaan kepelabuhan
Pengatur Muatan atau Juni Padat
Yaitu orang
yang tugasnya menetapkan tempat dimana suatu barang liiarus disimpan dalani
ruangan kapal. Untuk mengatur barang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas
itu dibutuhkan ahli yang pandai menempatkan barang-barang sesuai dengan
sifatnya, jangan sampai mudah bergerak kalau kapal kebetulan oleng, miring,
dll.
Per-Veem-an
Menurut
Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969, Per-veeman, adalah usaha yang ditujukan pada
penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan dengan
mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan disiapkan
barang-barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau
disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan
pelayaran untuk dikapalkan, yang
meliputi antara lain kegiatan: ekspedisi muatan, pengepakan, pengepakan
kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran, penandaan, dll. Pekerjaan yang
bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.
Jenis Bencana Pada Pengangkutan Laut
Jenis
bencana pada pengangkutan laut pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Bencana alam
2. Perbuatan manusia
a. Awak kapal dengan sengaja
memusnahkan atau, membuang ke laut sebagian dari muatan untuk mengurangi muatan
kapal dalam keadaan bahaya yang lazimnya dikenal dengan istilah
"jettison".
b. Perbuatan tercela dari awak kapal
dengan merusakkan kapal maupun muatan, sewenang-wenang dalam mengemudikan
kapal, sengaja menimbulkan kebakaran serta perbuatan lainnya yang tercela dan
melanggar hukum yang akan merugikan pemilik kapal maupun pemilik muatan yang
lazim disebut "Barratry".
c. Penyimpangan tujuan pelayaran
tanpa sebab yang memaksa, yang dapat merugikan dan merusak muatan, misalnya
karena menjadi lebih lama dalam perjalanan, mutan seperti buah-buahan menjadi
membusuk dan binatang ternak yang diangkut lebih banyak mati, lazim disebut
"deviation".
d. Bencana yang ditimbulkan oleh
pihak ketiga, misalnya bajak laut, penyamun, pencuri, pencoleng, perampok,
pemberontakan, perampasan, penawanan, pemogokan, kerusuhan, dll. termasuk dalam
hal ini kerusakan yang disebabkan oleh tikus, kutu, binatang penggerek dan hama
lainnya.
e. Bencana yang ditimbulkan oleh
pemilik barang sendiri, antara lain kelalaian pemilik dalam menyelenggarakan
pengepakan yang tidak layakk laut (“unseaworthy packing"), ataupun karena
perbuatan lain yang sengaja dilakukan dengan itikad buruk.
3. Sifat-sifat dari muatan sendiri. Lazimnya dikenal dengan
istilah "inherent vice". Pada umumnya barang yang diangkut melalui
laut akan selalu mengalami kerusakan
kecil maupnn penyusutan bagaimanapun baiknya pengepakan. Misalnya buah, sayur
dan pada binatang, serta barang besi
akan sedikit berkarat karena oksidasi ataupun udara laut yang yang mengandung garam.
Jenis Kerusakan Atau Kerugian Dalam
Pengangkutan Laut
Berdasarkan
macam-macam kerugian tadi undang-undang merumuskan menjadi 2 macam kerugian
lautyaitu:
1. Kerugian laut umum (avarij
grosse) yaitu : yang meliputi kapal, barang dan biaya pengangkutan secara
bersama-sama.
2. Kerugian laut khusus (bijzonder avarij), yang meliputi kapal
saja atau barang saja.
Perbedaan
keduanya akan tampak apabila membandingkan Pasal 699 KUHD dengan Pasal 701
KUHD. Dari kedua pasal tersebut dapat dilihat adanya perbedaan antara avarij
umum dan khusus, yaitu :
1. Dalam avarij umum: kerugian
tersebut sengaja ditimbulkan untuk
menyelamatkan kapal dan barang. Sedangkan Avarij khusus: kerugian tersebut diderita untuk
keperluan kapal saja atau barang saja.
2. Dalam avarij umum: terdapat
kepentingan bersama, sedang avarij khusus tidak terdapat hal demikian.
3.
Dalam avarij Limum:
kerugian atas kapal, barang dan biaya pengangkutan dipikul secara bersama-sama,
sedangkan averij khusus: kerugian dipikul sendiri-sendiri atas kapal saja atau
barangsaja.
Pokok Hukum Dagang Indonesia Tentang
Pengangkutan
Pada
perjanjian pengangkutan, baik menutupnya, maupun melaksanakan, kebanyakan
kalinya diserahkan kepada orang lain, yang ahli dibidang yang bersangkutan.
Begitulah misalnya pada waktu menutup perjanjian pengangkutan atau perjanjian
carter kapal, untuk yang pertama diserahkan kepada ekspeditur, sedangkan bagi
yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor). Convooiloper atau agen duane
(fungsi ini sekarang dikerjakan oleh EMKL) mengusahakan in dan uitklaring.
Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru-padat mengusahakan tentang pemuatan dan
pembongkaran. Fungsi-fungsi ini terkadang bersatu dalam satu atau dua
perusahaan, misalnya, ada perusahaan EMKL yang berfungsi sebagai ekspeditur,
makelar kapal dan agen duane atau convooiloper, sedang perusahaan lain
berfungsi sebagai pemuatan (stuwadoor) dan pembongkaran muatan.
Sifat Hukum Perrjanjian Ekspedisi
Perjanjian
ekspedisi adalah perjanjian timbal-balik antara ekspeditur dengan pengirim, di
mana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi si
pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada
ekspeditur. Perjanjian ekspedisi ini mempunyai sifat hukum rangkap, yaitu
"pelayanan berkala" (pasal 1601 KUHPER) dan "pemberian
kuasa" (pasal l792 dsl KUHPER)
Mungkin
pula perjanjian ekspeditur itu mempunyai unsur "penyelenggaraan
urusan" (zaakwaarneming), bila ekspeditur untuk barang-barang itu harus
berhadapan dengan pihak ketiga atas nama pengirim (Pasal l354 KUHPER).
Tugas Ekspeditur
Dalam
merumuskan tugas ekspeditur, sebagai yang dilakukan dalam pasal 86 ayat (1)
KUHD, pembentuk undang-undang memakai istilah "doen vervoeren"
(menyuruh mengangkut). Jadi, menurut pembentuik undang-undang tugas ekspeditur
adalah terpisah dengan tugas pengangkut. Tugas ekspeditur hanya mencarikan pengangkut yang baik bagi si
pengirim, dan tidak menyelenggarakan pengangkutan itu sendiri. Sedang
"menyelenggarakan pengangkutan" adalah tugas pengangkut.
Kewajiban Dan Hak Ekspeditur
Berhubung
dengan perjanjian ekspedisi itu mempunyai banyak sifat hukumnya seperti yang
sudah Purwosutjipto uraikan di muka, maka sebagai akibatnya ekspeditur dapat
mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak sebagai berikut:
a. Sebagai pemegang kuasa. Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas
nama pengirim. Dengan ini maka dia tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai
pemberian kuasa (pasal 1792 sampai dengan 1819KUHPER).
b. Sebagai komisioner. Kalau ekspeditur berbuat atas namanya sendiri,
maka berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai komisioner (pasal 76 dsl. KUHD).
c. Sebagai penyimpan barang. Sebelum ekspeditur mendapat/menemukan
pengangkut yang memenuhi syarat, maka sering juga ekspeditur terpaksa harus
menyimpan dulu barang-barang pengirim digudangnya. Untuk ini berlakulah
ketentuan-ketentuan mengenai penyimpanan barang (bewaargeving), pasal 1694 dsl.
KUHPER.
d. Sebagai penyelenggara urusan (zaakwaarnemer). Untuk melaksanakan
amanat pengirim, ekspeditur banyak sekali harus berurusan dengan pihak ketiga
untuk kepentingan barang-barang tersebut, misalnya: melaksanakan
ketentuan-ketentuan tentang pengeluaran dan pemasukan barang-barang di
pelabuhan, bea cukai dan lain-lain. Di sini ada unsur "penyelenggaraan
urusan" (zaakwaarneming) dan untuk ini berlakulah pasal 1354 dsl. KUHPER.
e. Register dan surat muatan. Sebagai pengusaha, seorang ekspeditur
harus memelihara register harian tentang macam dan jumlah barang-barang
dagangan dan barang lainnya yang harus diangkut, begitu pula harganya (pasal 86
ayat (2) KUHD). Hal ini erat hubungannya dengan pasal 6 KUHD. Kecuali register
harian tersebut di atas, dia harus membuat surat muatan (vrachtbrief — pasal 90
KUHD) pada tiap-tiap barang yang akan diangkut.
f. Hak retensi.Berdasarkan
fungsi-fungsi atau sifat-sifat perjanjian ekspedisi tersebut di atas, maka
menjadi persoalan apakah ekspeditur mempunyai hak retensi. Sebagai yang telah
diketahui, pemegang kuasa mempunyai hak retensi (pasal 1812 KUHPER), begitu
juga komisioner (pasal 85 KUHD), penyimpan barang (pasal 1729 KUHPER),
penyelenggara urusan (menurut arrest H.R. tanggal 10 Desember 1948) maka
menurut Purwosutjipto ekspediturpun mempunyai hak retensi.
Tanggung Jawab Ekspeditur
Pasal 87
KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur terhadap barang-barang yang telah
diserahkan pengirim kepadanya untuk:
a. menyelenggarakan pengiriman
selekas-lekasnya dengan rapi pada barang-barang yang telah diterimanya dari
pengirim;
b. mengindahkan segala upaya untuk
meiyamin keselamatan barang-barang tersebut.
Kecuali
tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-hal di bawah ini menjadi
tanggungjawabnya:
c. pengambilan barang-barang dari
gudang pengirim;
d. bila perlu penyimpanan di gudang
ekspeditur;
e. pengambilan barang-barang muatan
dari tempat (pelabuhan) tujuan untuk diserahkan kepada penerima yang berhak
atau kepada pengangkut selanjutnya.
Tugas
tersebut dalam huruf c, d, dan e hanya dilakukan bila tegas-tegas telah
ditetapkan dalam perjanjian ekspedisi yang bersangkutan
Hubungan Penerima Dengan Perjanjian
Ekspedisi
Kalau
penerima telah menerima barang muatan, atau dia menolak untuk menerimanya,
karena ada kerusakan atau kekurangan, maka. dia tidak hanya bersangkutan dengan
perjanjian pengangkutan saja, tetapi juga dengan perjanjian ekspedisi, sejauh
dapat diketahui dari dokumen-dokumen yang ada. Dia harus membayar uang
angkutan, bila ditentukan demikian dalam perjanjian (Pasal 491 KUHD).
Penerima
mempunyai hak sendiri yang bersangkutan dengan perjanjian ekspedisi dan juga
dengan perjanjian pengangkutan. Hak sendiri yang dimiliki oleh penerima inilah
yang menjadi dasar ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 KUHD. Dalam hal inikesulitan
hanya ada, bila penerima tidak menggunakan haknya. Pada pengangkutan dengan
konosemen, kesulitan itu tidak akan terjadi, sebab di sini hanya pemegang
konosemen sajalah yang berhak bertindak dalam penuntutan kepada pengangkut.
BAB IV
PENGUSAHA TRANSPOR
Pengertian
Orang
bertindak sebagai pengusaha transpor (transportondernemer),
bila dia menerima barang-barang tertentu untuk diangkut dengan uang angkutan
tertentu pula, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri.
Jadi, pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang
angkutan untuk seluruhnya, tetapi tidak, atau hanya sebagian saja yang
diangkutnya sendiri.
Sifat Hukum Perbuatan Pengusaha Transpor
Meskipun
pengusaha transpor itu menerima pekerjaan pengangkutan tertentu, tetapi tidak
berarti bahwa dia melakukan pemborongan pekerjaan, sebagai yang diatur dalam
pasal 1604 s.d. 1616 KUHPER. Perbuatan pengusaha transpor itu bukan pemborongan
pekerjaan, karena tidak menimbulkan barang baru seperti halnya pada
pemborongan.
Perbuatan
pengusaha transpor lebih-lebih bersifat pemberian jasa yang tidak
terus-menerus. Pemberian jasa itu diberikan, bila ada yang membutuhkan. Jadi,
sifat perbuatan pengusaha transpor itu adalah pelayanan berkala. Kecuali sifat pelayanan berkala, perbuatan
pengusaha transpor juga mengandung sifat lain, yaitu: Pemberian kuasa.Dalam hal ini si pengusaha transpor diberi kuasa
oleh pengirim untuk melakukan segala macam pekerjaan bagi terselenggaranya
pengangkutan yang aman sampai di tempat tujuan, yang selanjutnya harus
diserahkan kepada penerima yang ditunjuk oleh pengirim. Dari itu Purwosutjipto
berpendapat bahwa sifat hukum perbuatan pengusaha transpor adalah rangkap,
yaitu pelayanan berkala dan pemberian kuasa. Menurut Dorhout Mees, perbuatan pengusaha transpor itu hanya
bersifat pelayanan berkala.
BAB V
ANGKUTAN DARAT
Pengaturan Tentang Angkutan Darat
Undang-Undang
No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah
dirumah dengan Undang-Undang No.9 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lalu lintas adalah gerak
kendaraan, orang, dan hewan di jalan;
2. Angkutan adalah pemindahan orang
dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan;
3. Jaringan transportasi jalan adalah
serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu
lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan;
4. Jalan adalah jalan yang
diperuntukkan bagi lalu lintas umum;
5. Terminal adalah prasarana
transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan/atau barang
serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum, yang merupakan
salah satu wujud simpul jaringan transportasi;
6. Kendaraan adalah satu alat yang
dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak
bermotor;
7. Kendaraan bermotor adalah
kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
8. Perusahaan angkutan umum adalah
perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan
kendaraan umum di jalan;
9. Kendaraan umum adalah setiap
kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut
bayaran;
10.Pengguna jasa adalah setiap
orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan, baik untuk angkutan
orang maupun barang.
BAB VI
PENGANGKUTAN UDARA
Pengertian Pengangkutan
Udara
Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan
darat, laut dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi pengangkutan Udara
(OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang
mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam konvensi Warsawa 1929, menyebut
pengangkut udara dengan istilah carrier,akan
tetapi konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau definisi tertentu
tentang istilah pengangkut udara atau carrier
ini.
Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa definisi pengangkutan udara adalah orang atau
badan hukum yang mengadakan perjanjian angkutan untuk mengangkut penumpang
dengan pesawat terbang dan dengan menerima suatu imbalan. Pengangkutan udara
diatur dengan undang-undang No 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan. Angkutan
udara diadakan dengan perjanjian antara pihak pihak. Tiket penumpang atau tiket
bagasi merupakan tanda bukti telah terjadi
perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Fungsi dan Peranan
Pengangkutan Udara
Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda
Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan antar pulau yang tidak, atau belum
terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga berfungsi sebagai alat
pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan udara di
Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan tatanan
dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi darat, laut
dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Perpaduan tersebut menentukan karakteristik dari
pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai dari tatanan
perhubungan. Pada hakekatnya pembagian tugas masing-masing peranan pengangkutan
tidak mungkin dilakukan mengingat antara pengangkutan darat, laut dan udara
saling terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani kebutuhan
perhubungan nasional dan internasional dan menyediakan fasilitas transit
penumpang untuk tempat tujuan tertentu.
Tanggung Jawab
Pengangkutan Menurut Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100
Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara mengenai
tanggung jawab pengangkutan udara dalarn hal pengangkutan penumpang adalah
pasal 24 ayat (1) yang berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian
sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita
oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya,
dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama
melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat
terbang”.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap
selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Adanya kecelakaan yang terjadi,
2. Kecelakaan ini harus ada
hubungannya dengan pengangkutan udara,
3. Kecelakaan ini harus terjadi di
atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang berhubungan
dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang
Sedangkan menurut Undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang
penerbangan, pasal yang mengatur tentang tanggung jawab diatur dalam pasal 43
ayat (1) yang berbunyi :
“Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan
bertanggung jawab atas
1. Kematian atau lukanya penumpang
yang diangkut.
2. Musnah, hilang atau rusaknya
barang yang diangkut.
3. Keterlambatan angkutan penumpang
dan atau barang yang diangkut apabila terkait hal tersebut merupakan kesalahan
pengangkut
Prinsip-Prinsip
Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang
dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam
Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1. Prinsip Presumption
of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab
untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan
pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa
ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.
2. Prinsip Limitation of
Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab,
namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi
Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan
pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan
Udara, pasal yang mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah
pusal 30 ayat (1), yaitu:
”Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut
terhadap fiap–tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang, disebutkan dalam
pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus
(Rp. 12.500,-). Jika ganti kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah
uang pokok, yang dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di alas”.
Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan
yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab sampai jumlah yang dituntut tadi tidak
terikat pada batas maksimum yang ditentukan, apabila
- Ada kesalahan berat dari pengangkut
- Ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan
kerugian
Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. apabila
Pengangkut telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan
kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut
diatas. Kerugian timbul karena kesalahan pada pengemudian, handlingpesawat atau navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk
mencegah timbulnya kerugian.
Bentuk-Bentuk Angkutan Udara Niaga
Dalam Pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, dinyatakan
angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
Bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Dalam
penyelanggraan angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu pertama,angkutan udara niaga dan kedua,angkutan udara bukan niaga.
Angkutan udara niaga
adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. Sedangkan angkutan
udara bukan niaga ciri terpenting adalah tidak untuk kepentingan umum melainkan
untuk keperluan-keperluan yang bersifat khusus misalnya dinas-dinas kenegaraan
dan kepentingan militer. Kegiatan angkutan udara dilakukan oleh perusahaan
angkutan udara, yaitu perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara untuk
digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan pos dengan memungut pembayaran.
Selanjut dalam Pasal 8
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara membagi
bentuk-bentuk kegiatan pengangkutan udara, menjadi dua yaitu angkutan udara
niaga dan angkutan udara bukan niaga, secara lengkap dinyatakan
(1) Kegiatan angkutan
udara terdiri atas :
a. angkutan udara
niaga; dan
b. angkutan udara
bukan niaga.
(2) Angkutan udara
niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
a. angkutan udara
niaga berjadwal; dan
b. angkutan udara
niaga tidak berjadwal.
Penerbangan komersial
atau angkutan udara niaga adalah usaha pengangkutan dari penumpang-penumpang,
barang-barang dan pos atau kegiatan keudaraan lainnya dengan memungut bayaran.
Ada beberapa
penggolongan kegiatan penerbangan komersial atau niaga, yaitu sebagai berikut:
g) Penerbangan
teratur (scheduled operation), yaitu
penerbangan berencana menurut suatu jadwal perjalanan pesawat-pesawat yang
tetap dan teratur;
h) Penerbangan
tidak teratur (non scheduled operation),
yaitu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-pesawat secara tidak berencana;
i) Penerbangan
suplementer, yaitu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-pesawat berkapasitas
15 orang dan sifatnya suplementer dari penerbangan teratur ke tidak teratur;
j) Penerbangan
kegiatan keudaraan (aerial work), yaitu
penerbangan-penerbangan yang bukan bertujuan untuk pengangkutan penumpang,
barang atau pos melainkan untuk kegiatan udara lain dengan memungut bayaran
antara lain untuk kegiatan-kegiatan penyemprotan, pemotretan, servey udara, dan
lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri
penerbangan komersial atau niaga berjadwal pada umumnya sebagai berikut :
1. penerbangan
dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain atau sebaliknya dengan rute
penerbangan yang telah ditetapkan;
2. penerbangan
dilakukan secara seri, lebih dari 1 (satu) kali penerbangan, secara terus
menerus atau sedemikian rupa seringnya sehingga dapat dikatakan sebagai
penerbangan teratur (regular);
3. penerbangan
tersebut terbuka untuk umum guna mengangkut penumpang dan/atau barang dengan
memungut bayaran atas jasa angkutan tersebut;
4. penerbangan
dilakukan berdasarkan jadwal penerbangan yang telah ditetapkan terlebih dahulu
terlepas apakah tersedia penumpang atau tidak, penerbangan tetap dilangsungkan;
5. penerbangan
jenis ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang telah mengutamakan nilian
waktu dari pada nilai uang;
6. perusahaan
penerbangnya diperbolehkan memasang iklan;
7. penjualan
tiket terbuka untuk umum secara individu.
Sedangkan ciri-ciri
penerbangan tidak berjadwal secara umum, yaitu sebagai berikut:
1. penerbangan
dilakukan untuk mengangkut barang, orang, dan atau pos ke seluruh wilayah
Republik Indonesia dengan tidak ada pembatasan rute penerbangan terteentu
secara tetap;
2. penerbangan
tidak dilakukan sesuai dengan daftar perjalanan terbang/ jadwal penerbangan;
3. penjualan
karcis atau surat muatan udara secara sekaligus untuk seluruh kapasitas pesawat
udara tersebut;
4. penumpangnya
merupakan suatu rombongan dan bukan merupakan penumpang umum yang dihimpun oleh
pencarter atau biro perjalanan (travel beureau);
5. pesawat
udara pengangku penumpang, barang dan pos dari suatu tempat langsung ke tempat
tujuan dengan tidak diperkenankan menurunkan dan atau menaikkan penumpang dalam
perjalanan;
6. perusahaan
penerbangnya tidak diperkenankan memasang iklan di surat kabar, majalah, maupun
media massa lainnya;
7. tarif
angkutan tidak berdasarkan surat keputusan pemerintah yang telah ditetapkan
terlebih dahulu;
8. jenis
pengangkutan ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang lebih mengutamakan
nilai waktu dari pada nilai uang.
Penerbangan komersil
dilihat dari segi wilayah operasi penerbangannya dapat dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu :
a) Penerbangan
domestik (nasional), yaitu penerbangan antar pelabuhan udara di wilayah
Indonesia dengan menggunakan pesawat udara yang beregistrasi indonesia,
b) Penerbangan
internasional, adalah penerbangan dari pelabuhan udara indonesia dengan atau
tanpa melakukan transit di pelabuhan udara indonesia atau sebaliknya dengan
tujuan pelabuhan udara negara lain.
Penerbangan
internasional dilihat dari aspek perusahaan penerbangannya dikategorikan ke
dalam 2 (dua) bentuk yaitu :
a) Penerbangan
internasional yang dilakukan oleh pesawat udara asing (registrasi asing);
b) Penerbangan
internasional yang dilakukan oleh pesawat udara nasional (registrasi nasional).
Hubungan Hukum dan dokumen dalam Pengangkutan Udara
1. Konsep dan Pengertian
Perjanjian Pengangkutan
Dari segi hukum,
khusunya hukum perjanjian. Pengangkutan merupakan bentuk perjanjian timbal
balik antara pengangkut dengan pihak yang diangkut (penumpang dan/atau
pengirim) dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak
penumpang dan/atau pengirim mengikatkan dirinya pula untuk membayar sejumlah
uang atau ongkos pengangkutan.
Perjanjian Pengangkutan Udara
Sebelum dipaparkan
mengenai perjanjian pengangkutan udara terlebih dahulu dijelaskan mengenai
hukum Pengangkutan Udara. Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan
(kaidah, norma) yang mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan
pengangkutan penumpang dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan
udara (AirTransportation) adalah
merupakan bagian daripada hukum penerbangan ( Aviation Law) dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum
udara(air Law).
Hukum udara adalah
sekumpulan peraturan yang menguasai ruang udara serta penggunaannya di
lingkungan penerbangan. Sedangkan hukum penerbangan adalah kumpulan peraturan
yang secara khusus mengenai penerbangan, pesawat udara, ruang udara dan
peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan. Dengan demikian, hukum
udara lebih luas cakupannya dari pada hukum penerbangan atau hukum pengangkutan
udara.
Dalam peraturan
perundang-undangan juga dijelaskan beberapa defenisi yang berkenaan dengan
kegaiatan pengangkutan udara, yaitu antara lain: dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, menentukan beberapa ketentuan umum,
yaitu antara lain :
1. Penerbangan
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat
udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan,
serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait;
2. Angkutan
udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar
udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara;
3. Angkutan
udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
Perjanjian
pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan
pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu
prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan
sebagian dari suau perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara
Dalam perjanjian
pengangkutan terdapat hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan
dengan baik. Hak dan kewajibana timbul karena adanya hubungan hokum diantara
para pihak. Berikut dipaparkan hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang pada
transportasi udara.
Hak dan kewajiban Pengangkut
Secara umum hak
pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos angkutan dari penumpang atau
pengirim barang atas jasa angkutan yang telah diberikan. Akan tetapi di dalam
ordonansi pengangkutan Udara 1939 ditentukan hak pengangkut, yaitu sebagai
berikut:
a) Pada Pasal
7 ayat (1), Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk
membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara".
Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut agar menerima surat
tersebut.
b) Pasal 9,
Bila ada beberapa barang, pengangkut berhak meminta kepada pengirim untuk
membuat beberapa surat muatan udara.
c) Pasal 17
ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima
barang-barang atau untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila
barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di
tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak. Dan pada ayat (2)
Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan,
juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau telepon, atas beban
yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya.
Disamping hak-hak yang
diatur dalam OPU tersebut di atas, masih ada hak-hak yang lain dari pengangkut
seperti hak untuk menolak pelaksanaan atau mengangkut penumpang yang tidak
jelas identitasnya. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam tiket pesawat yang
menyatakan bahwa hak pengangkut untuk menyerahkan penyelenggaraan atau pelaksanaan
perjanjian angkutan kepada perusahaan penerbangan lain, serta mengubah
tempat-tempat pemberhentian yang telah disetujui.
Kewajiban Pengangkut
Secara umum kewajiban
pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang beserta
bagasinya dan menjaganya dengan sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan.
Akan tetapi di dalam OPU 1939 ditegaskan kewajiban pengangkut pada transportasi
udara, yaitu sebagai berikut:
a) Pasal 8 ayat (3),
Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah barang-barang
diterimanya.
b) Pasal 16 ayat(2),
Bila barang sudah tiba di pelabuhan udara tujuan, pengangkut berkewajiban untuk
memberitahu kepada penerima barang, kecuali bila ada Perjanjian sebaliknya.
c) Pasal 17 ayat (1),
Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima barang-barang atau
untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila barang-barang tersebut
disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas
beban dan kerugian yang berhak.
d) Pasal 17 ayat (2),
Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan,
juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau telepon, atas beban
yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya.
Hak dan Kewajiban Penumpang Pada Angkutan Udara
Hak Penumpang
Seorang penumpang
dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat
tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan dalam
perjanjian angkutan udara yang bersangkutan. Di samping itu juga penumpang atau
ahli warisnya berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya
sebagai akibat adanya kecelakaan penerbangan atas pesawat udara yang
bersangkutan. Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang
menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh
keamanan dan keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain.
Kewajiban Penumpang
Sebagai salah satu
pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki
kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a) Membayar
uang angkutan, kecuali ditentukan sebalinya
b) Mengindahkan
petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawainya yang
berwenang untuk itu
c) Menunjukan
tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta
d) Tunduk
kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum
perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya
e) Memberitahukan
kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barang-barang
terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan,
termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.
Apabila penumpang
tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka sebagai konsekuensinya pengakut udara
berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan udara itu.
Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Kegiatan Pengangkutan
Konsep dan Pengertian Sengketa
Apabila ditinjau dari
maknanya secara konseptual, perselisihan (dispute)
sangat identik dengan konflik. ‘Konflik’ berasal mula dari kata asing conflictyang pada gilirannya berasal
dari kata confligere< com(yang berarti ‘bersama’ atau
‘bersaling-silang’) + fligere(yang
berarti ‘tubruk’ atau ‘bentur’). Didefinisikan secara bebas dari arti
harafiahnya itu, ‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah
berjumpa dan bersilang jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada
terjadinya benturan. Konflik itu pada umumnya didefinisikan sebagai suatu peristiwa
yang timbul karena adanya niat-niat bersengaja antara pihak-pihak yang
berkonflik itu.
Dalam peristiwa
seperti ini, konflik akan merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih
dari dua pihak, yang masing-masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari
arena kehidupan bersama ini, atau setidak-tidaknya menaklukkannya dan
mendegradasikan lawannya itu ke posisi yang lebih tersubordinasi.64 Menurut
kamus the Collins Consicedisebutkan
bahwa konflik adalah “a struggle between
opposing foerces”. Selain itu konflik juga diartikan sebagai “opposition between ideas, andlor interests”.
Dengan demikian menurut kamus tersebut konflik bisa berupa fisik bisa juga
berbentuk wacana.
Konflik yang terjadi
antara pihak yang satu dengan pihak yang lain selalu diawali dengan adanya
perbedaan kepentingan yang belum mendapatkan kompromi untuk mendapatkan jalan
keluar terbaik.
Penyelesaian Sengketa Dalam Pengangkutan Niaga
Sengketa merupakan hal
yang tidak bisa dihindarkan lagi jika manusia berselisih paham dengan manusia
lain dalam lingkungannya. Tetapi setiap manusia memiliki berbagai macam cara
untuk memperoleh kesepakatan dalam penyelesaian sengketa atau konflik yang
dihadapinya. Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak
secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat
netral atau dengan cara lainnya. Pada intinya penyelesaian konflik antara
pihak-pihak yang bersengketa terdapat dua cara yaitu litigasi dan non litigasi.
Litigasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan,
sedangkan non litigasi melalui jalur di luar pengadilan seperti negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Dokumen Pengangkutan Udara
Dokumen pengangkutan
udara terdiri dari tiket penumpang (passenger
ticket), tiket bagasi (baggage ticket),
surat muatan udara (air way bill).Tiket
penumpang merupakan alat bukti adanya perjanjian antara penumpang dengan
perusahaan penerbangan. Namun demikian, bilamana tiket hilang atau rusak bukan
berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, karena alat bukti tersebut dapat
dibuktikan dengan alat bukti lainnya misal bukti penerimaan uang oleh
perusahaan penerbangan dari penumpang .
Dalam ordonansi
Penerbangan nomor 10 Tahun 1939, dinyatakan dokumen pengangkutan udara, yaitu
sebagai berikut:
·
Tiket Penumpang
·
Tiket Bagasi (Baggage Claim Tag)
·
Surat Muatan Udara.
Pengaturan tentang Pengangkutan Udara
Ø
Dasar Hukum Penerbangan Nasional Indonesia
1. Peraturan
a) UU No. 5 Tahun 1985, sudah tidak
berlaku sejak ada UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, namun kemungkinan
Ppnya amsih berlaku sepanjang tidak bertentangan (katanya).
b) OPU sudah tidak berlaku setelah UU
No. 15 Tahun 1992.
c) Luchtverkeersverordening, Stb.
1936 No. 425 yang mengatur tentang lalu lintas undara, seperti penerbangan,
tanda-tanda isyarat yang harus dipergunakan di dalam penrbangan.
d) Verordening Toesicht Luchtvaart,
Stb. 1936 No. 426 yang mengatur pengawasan atas penerbangan, mengatur personil,
syarat-syarat jasmani rokhani, pemeriksaan sebab-sebab kecelakaan dan
lain-lain.
e) Luchtvaartquorantieue ordonantie, Stb. 1939
No. 149 Jo. Stb. 1939 No. 50yang mengatur pencegahan penyakit menular bagi
penumpang.
2. Perjanjian Internasional
a) Perjanjian Warsawa 12 Oktober 1929
dengan Stb. 1939 No. 344 yang membahas tentang pengangkutan udara
internasional.
b) Perjanjian Roma 29 Mei 1933,
mengatur tentang tanggung jawab udara mengenai kerusakan atau kerugian yang
dialami pihak ke-3 di muka bumi. Perjanjian ini telah diperbaharui pada tahun
1952.
3. Ilmu
Pengetahuan.
Ø
UU No. 15 Tahun 1992
Pasal
1, dalam UU ini yang dimaksud dengan:
1. Penerbangan adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan
fasilitas penunjang lain yang terkait;
2. Wilayah udara adalah ruang udara
di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia;
3. Pesawat udara adalah setiap alat
yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara;
4. Pesawat udara Indonesia adalah
pesawat udara yang didaftarkan dan mempunyai tanda pendaftaran Indonesia;
5. Pesawat terbang adalah pesawat
udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan
tenaganya sendiri;
6. Helikopter adalah pesawat udara
yang lebih berat dari udara, dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak
dengan tenaganya sendiri;
7. Pesawat udara negara adalah
pesawat udara yang dipergunakan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
pesawat udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan
untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8. Pesawat udara sipil adalah pesawat
udara selain pesawat udara negara;
9. Pesawat udara sipil asing adalah
pesawat udara yang didaftarkan dan/atau mempunyai tanda pendaftaran negara
bukan Indonesia;
10.
Pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah
pesawat udara negara yang dipergunakan dalam dinas Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia;
11.
Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk
mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar
muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi;
12.
Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan
dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan untuk kegiatan penerbangan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
13.
Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat
udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau
lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar
udara;
14.
Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan
memungut pembayaran;
15.
Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi
pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan
penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
anak UNAS juga ya. angkatan berapa?
BalasHapusanak UNAS juga ya. angkatan berapa?
BalasHapus
BalasHapusMenyambut Tahun Baru Imlek 2020 tepatnya 25 Januari nanti, Bolavita sebagai agen judi dan taruhan sabung ayam online terbesar di Indonesia akan memberikan bonus Angpao Imlek bagi anda yang bermain disitus kami khusus pada tanggal 25 Januari dan 8 Februari 2020.
Bonus Khusus Imlek 2020 Dibagi Sebesar Rp 160.000,-
Tersedia Permainan :
• Sabung Ayam S128 / SV388
• Sportsbook ( Bola, Tenis, Moto GP, Badminton, Dan berbagai olahraga lengkap lainnya )
• Casino Live ( Baccarat, Sicbo Dadu, Dragon Tiger, Roullete, Niu-Niu, Blackjack )
• Tembak Ikan
• Slot ( Jackpot, Ding-Dong, Bingo )
• Dan Masih Banyak Lainnya..
Setiap member yang melakukan deposit pada hari raya imlek 2020 akan mendapatkan bonus tambahan langsung ke akun yang terdaftar. Bonus Angpao Emas Tahun Tikus 2020 berupa Freechip Untuk semua permainan di Bolavita terkecuali Bola Tangkas dan Togel Online.
Syarat & Ketentuannya cek di : http://bit.ly/2MqI6pi
Semoga di Tahun Tikus 2020 Anda Mendapatkan Keberuntungan Dan Rejeki Berlimpah. Bolavita Mengucapkan Selamat Hari Raya Imlek. Gong Xi Fa Chai.
Kontak Resmi :
• WA : 0812-2222-995
• Telegram : 0812-2222-995
• Wechat : Bolavita
• Line : cs_bolavita
Sebenernya bagus, cuman tolong lebih banyak cantuman referensinya ..sebagai orang hukum tindakan plagiasi atau jawaban haruslah bdapat dipertanggungjawabkan.
BalasHapus